Selamat Datang Semoga Bermanfaat, Pengelola Web Akan Sangat Senang Bila Anda Berkenan Meninggalkan Jejak Berupa Koment Atas Postingan Kami

Selasa, 14 Juni 2011

SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHAN



Biografi Singkat Pendiri Hizbut Tahrir

Pengantar Redaksi:

Sebelum membicarakan sejarah hidup beliau, perlu dipahami bahwa tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengagungkan atau mengkultuskan beliau, karena tidak ada seorang pun yang boleh diagungkan dan dikultuskan; juga tidak didasari fanatisme kelompok (‘ashabiyyah), karena fanatisme kelompok jelas telah diharamkan Allah Swt.

Tulisan mengenai biografi beliau ini juga bukan untuk menumbuhkan sikap bahwa semua yang berasal dari beliau adalah pasti benar, karena beliau adalah manusia biasa, bisa benar dan bisa salah; bukan nabi/rasul yang ma‘shûm.

Namun demikian, bukanlah sikap bijaksana jika hanya karena ketidaksukaan sebagian kalangan terhadap Hizbut Tahrir (HT) atau sosok An-Nabhani sebagai pendirinya, mendorong orang untuk bersikap apriori, bahkan buruk sangka, dan serta-merta menolak setiap pemikiran yang digagas oleh beliau. Dalam hal ini, akan lebih bijaksana jika kita mengingat kembali pesan Ali bin Abi Thalib kw. yaitu:

[ لاَ تَعْرِفْ الْحَقَّ بِالرِّجَالِ، أَعْرِفْ الْحَقَّ تَعْرِفُ اَهْلَهُ ]

Janganlah engkau menilai kebenaran itu dari orangnya, tetapi kenalilah kebenaran itu, maka engkau akan mengenal orang yang mengembannya.

Karena itu, semua pemikiran dan hukum yang digali Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, sebagaimana yang digali para ulama lain, harus tetap didudukkan sebagai pemikiran dan hukum yang mesti kita kembalikan pada dalil-dalil syariat.

Dalam kerangka berpikir semacam itulah, tulisan mengenai biografi singkat beliau dipaparkan berikut ini.

Meski membidani lahirnya Hizbut Tahrir (HT) sebagai sebuah partai politik internasional yang telah eksis di berbagai belahan dunia, tulisan yang membahas Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani—seorang ulama, qadhi, pemikir, dan politikus ulung—sangat sedikit kita jumpai. Bukan hanya Syaikh An-Nabhani, bahkan tulisan mengenai tokoh-tokoh HT yang lain juga jarang diungkap. Mengapa? Karena para penguasa Arab khususnya dan negeri-negeri Muslim umumnya menganggap HT sebagai gerakan paling berbahaya bagi kelangsungan kekuasaan mereka. Oleh karena itu, dengan kekuatan dan melalui tangan para anteknya, para penguasa itu berusaha mengucilkan mereka; baik secara langsung maupun melalui ‘boikot’ media. Lebih dari sekadar mengucilkan, para penguasa itu bahkan menangkapi para pendiri dan tokoh HT, berusaha menghentikan kegiatan HT, melarang aktivitas para syabâb (aktivis)-nya, dan menghapus jejaknya. HT mereka anggap jauh lebih berbahaya daripada Partai Komunis. Ungkapan Taufiq Abdul Hadi (mantan Ketua Kabinet Yordania tahun 1953-an) menggambarkan hal itu. Ia pernah berujar:

Sesungguhnya (bagi penguasa), HT jauh lebih berbahaya daripada Partai Komunis. Segenap kekuatan dikerahkan untuk menghambat aktivitas dan pertumbuhannya. Hingga tatkala Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani wafat tahun 1977, seluruh media di negeri Arab dan Islam dilarang memuat barang secuil pun kalimat belasungkawa.

Saya ingat, waktu itu saya bersama Harian Ad-Dustûr dengan pemimpin redaksinya saat itu, sahabat saya Ustadz Mahmud asy-Syarif. Kami berupaya menyebarkan berita mengenai wafatnya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani meskipun hanya beberapa baris berita di pojok salah satu halaman. Semua larangan itu bermuara bukan hanya karena HT menyerukan Islam, tetapi karena HT khas dalam empat hal: (1) HT menyerukan untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam; (2) HT mengadopsi pemahaman-pemahaman Islam yang dijelaskan dalam banyak kitabnya seperti Nizhâm al-Islâm, Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, dll; tidak menyerahkannya pada ijtihad masing-masing anggotanya dan ulama; (3) HT concern mewujudkan kesadaran politik atas dasar Islam; (4) Dalam aktivitasnya, HT bersandar pada bentuk organisasi kepartaian (at-takattul al-hizbi), bukan pada kelompok sosial (at-takattul al-jamâ‘i).[1]

Kelahiran dan Pertumbuhan Syaikh An-Nabhani

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dilahirkan di Ijzim, masuk wilayah Haifa. Nama lengkap beliau adalah Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf an-Nabhani. Ayah beliau adalah seorang pengajar ilmu-ilmu syariat di Kementerian Pendidikan Palestina. Pendidikan awal beliau diterima dari ayah beliau. Di bawah bimbingan sang ayah, beliau sudah hapal al-Quran seluruhnya sebelum usia 13 tahun. Beliau juga mendapat pengajaran fikih dan bahasa Arab. Beliau menamatkan Sekolah Dasar di kampungnya. Ibunda beliau juga menguasai beberapa cabang ilmu syariat yang diperoleh dari kakek beliau, Syaikh Yusuf an-Nabhani.[2]

Beliau juga dibimbing dan diasuh oleh kakek beliau ini, Syaikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf bin Ismail bin Hasan bin Muhammad Nashiruddin an-Nabhani; seorang qadhi, penyair, sastrawan, dan ulama besar. Sekembali dari menuntut ilmu di al-Azhar, Syaikh Yusuf kembali ke kota asal dan memberikan pengajaran agama di Aka. Beliau lalu menjabat qadhi di Qushbah Jenin, masuk wilayah Nablus. Beliau lalu pindah ke Konstantinopel dan kemudian diangkat menjabat qadhi di Sinjiq, masuk wilayah Mosul. Selanjutnya beliau menjabat Kepala Mahkamah al-Jaza di Ladziqiyah, kemudian di al-Quds. Selanjutnya, beliau menjabat Ketua Mahkamah al-Huquq di Beirut.[3]

Beliau termasuk pelaku sejarah masa akhir Khilafah Utsmaniyah. Beliau berpendapat bahwa Khalifah Utsmaniyah merupakan penjaga agama dan akidah, simbol kesatuan kaum Muslim, dan mempertahankan institusi umat. Beliau berseberangan dengan Muhammad Abduh dalam metode tafsir; Abduh menyerukan perlunya penakwilan nash dan agar tafsir merujuk pada tuntutan kondisi. Beliau juga berseberangan dengan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan murid-muridnya, yang menyerukan reformasi. Menurut beliau, tuntutan reformasi itu meniru Protestan. Dalam Islam tidak ada reformasi agama (seperti dalam pemahaman Protestan) itu. Beliau juga menentang gerakan misionaris dan sekolah-sekolah misionaris yang mulai tersebar pada masa beliau.[4]

Karena itu, di samping seorang ulama yang faqih, Syaikh Yusuf an-Nabhani juga seorang politikus yang selalu memperhatikan dan mengurus urusan umat.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani banyak diasuh dan dibimbing oleh sang kakek ini. Beliau banyak menimba ilmu syariat dari sang kakek. Beliau banyak belajar dan memahami masalah-masalah politik yang penting dari sang kakek, yang mengalami langsung dan memiliki hubungan erat dengan penguasa Utsmaniyah. Beliau juga sering mengikuti ceramah dan diskusi yang dibawakan oleh sang kakek.[5]
Walhasil, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani tumbuh dan berkembang dalam suasana keagamaan yang kental. Beliau juga sejak usia sangat dini telah bergelut dengan masalah-masalah politik. Semua itu memiliki pengarus besar dalam membentuk kepribadian beliau.

Melihat bakat kemampuan yang sangat besar dalam diri Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, sang kakek meyakinkan sang ayah agar mengirim Taqiyuddin remaja ke Al-Azhar untuk melanjutkan studi dalam ilmu-ilmu syariat.

Pendidikan Beliau

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menamatkan pendidikan dasar di sekolah dasar negeri di Ijzim. Beliau kemudian melanjutkan ke sekolah menengah di Akka. Lalu beliau melanjutkan studi di Tsanawiyah Syariah di Haifa. Sebelum menyelesaikannya, beliau pindah ke Kairo; melanjutkan studi di Tsanawiyah al-Azhar (setingkat SMU) pada tahun 1928. Pada tahun yang sama beliau meraih ijazah dengan predikat sangat memuaskan. Kemudian beliau melanjutkan studi di Kulliyah Dar al-Ulum yang merupakan cabang al-Azhar dan secara bersamaan beliau juga belajar di Universitas al-Azhar.

Dengan sistem al-Azhar waktu itu, mahasiswa dapat memilih beberapa syaikh al-Azhar dan menghadiri halaqah-halaqah mereka mengenai bahasa Arab, fikih, ushul fikih, tafsir. hadis, tauhid, dan ilmu-ilmu syariat lainnya. Saat itu Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani memilih dan mengikuti halaqah para syaikh al-Azhar seperti yang dianjurkan sang kakek, Syaikh Yusuf an-Nabhani; di antaranya mengikuti halaqah Syaikh al-Hidhir (al-Akhdar) Husain.
Pada tahun 1932 beliau lulus dari Kulliyah Dar al-‘Ulum dan juga menamatkan studi di al-Azhar as-Syarif.[6]

Selama studi di dua Universitas ini beliau tampak menonjol dan istimewa dalam kecerdasan dan kesungguhan. Beliau dikenal oleh teman sesama mahasiwa dan para pengajarnya sebagai sosok yang memiliki kedalaman pemikiran, pendapat yang kuat, serta kekuatan argumentasi dalam setiap diskusi dan forum pemikiran; juga memiliki keistimewaan dalam ketekunan, kesungguhan, dan besarnya perhatian untuk memanfaatkan waktu guna menimba ilmu dan belajar.[7]
Ijazah yang beliau raih di antaranya adalah: Ijazah Tsanawiyah al-Azhariyah; Ijazah al-Ghuraba’ dari al-Azhar; Diploma Bahasa dan Sastra Arab dari Dar al-‘Ulum; Ijazah dalam Peradilan dari Ma‘had al-‘Ali li al-Qadha’ (Sekolah Tinggi Peradilan), salah satu cabang al-Azhar. Pada tahun 1932 beliau meraih Syahâdah al-‘Âlamiyyah (Ijazah Internasional) Syariah dari Universitas al-Azhar as-Syarif dengan predikat excellent.[8]

Aktivitas-aktivitas Syaikh An-Nabhani

Setelah menyelesaikan studi di Dar al-‘Ulum dan al-Azhar, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani kembali ke Palestina dan mulai mengajar di Sekolah Tsanawiyah Negeri (setingkat SMU) dan di sekolah-sekolah Islam di Haifa. Aktivitas mengajar ini beliau lakoni dari tahun 1932-1938. Pada tahun 1938 beliau beralih profesi dengan berkarya di lapangan Peradilan. Hal itu karena beliau memandang bahwa pendidikan dan semua aktivitas yang terkait dengan kurikulum telah banyak dipengaruhi Barat sehingga telah banyak menyimpang. Sebaliknya, bidang peradilan relatif lebih terjaga. Karenanya, beliau mengajukan permohonan untuk bekerja di Mahkamah Syariah.
Banyak sejawat beliau semasa di al-Azhar yang bekerja di Peradilan. Dengan bantuan mereka, pada tahun 1938 beliau mulai menjabat Sekretaris Mahkamah di Bissan, lalu pindah ke Taberriya. Sesuai dengan pendidikannya, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengajukan permohonan untuk menjadi qadhi. Majelis al-Islami al-A’la lalu menyetujuinya dan memindahkan beliau ke Mahkamah Syariah di Haifa untuk menjabat Kepala Sekretaris (Bâsy Kâtib).

Pada tahun 1940, beliau diangkat sebagai asisten (musyâwir) qadhi sampai tahun 1945. Pada tahun ini beliau diangkat sebagai qadhi di Ramalah sampai tahun 1948. Pada tahun ini pula beliau terpaksa eksodus ke Syria akibat Palestina jatuh ke tangan Yahudi.

Tidak lama, pada tahun ini pula, sejawat beliau, Ustadz Anwar al-Khatib, mengirim surat meminta beliau agar kembali ke Palestina untuk menjabat qadhi di al-Quds (Yerusalem). Dengan demikian, sejak tahun 1948 ini Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjabat qadhi di Mahkamah Syariah di al-Quds (Yerusalem).

Selanjutnya, oleh Kepala Mahkamah Syariah dan Kepala Mahkamah Isti’naf saat itu, Syaikh Abd al-Hamid as-Sa’ih, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani diangkat sebagai anggota Mahkamah Isti’naf. Beliau terus menduduki jabatan ini sampai mengundurkan diri tahun 1950 (1951).[9]

Pada tahun 1951 beliau pindah ke Amman dan mengajar di Fakultas Ilmu-ilmu Islam (Al-Kulliyah al-‘Ilmiyyah al-Islâmiyyah) sampai tahun 1953. Beliau mengajar mata ajaran Tsaqâfah al-Islâmiyyah sesuai dengan izin Dekan waktu itu, Ustadz Basyir Shiba’. Buku beliau, As-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah cetakan tahun 1952, menjadi buku ajar.[10]

Aktivitas Politik Syaikh An-Nabhani

Sejak usia dini Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani telah bergelut dengan masalah-masalah politik ketika dibimbing oleh sang kakek. Begitu pula ketika beliau kuliah di Dar al-‘Ulum dan al-Azhar, Teman-teman beliau semasa kuliah menceritakan aktivitas beliau yang tanpa lelah dalam diskusi politik dan keilmuan. Mereka juga sangat menghargai konstribusi beliau dalam sejumlah diskusi politik. Di dalamnya beliau senantiasa mengkritisi kemunduran umat serta mendorong aktivitas politik dan intelektual untuk membangkitkan umat dan mewujudkan kembali Daulah Islam. Beliau juga menggunakan kesempatan itu untuk mendorong dan mendesak para ulama al-Azhar dan lembaganya memainkan peran aktif dalam membangkitkan umat.[11]

Setelah kembali dari studi di al-Azhar, beliau sangat memperhatikan upaya pembaratan umat Islam yang dilakukan oleh para penjajah semisal Inggris dan Prancis. Beliau juga banyak menjalin kontak dan diskusi dengan para ulama tokoh pergerakan dan tokoh masyarakat seputar upaya membangkitkan kembali umat Islam.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani pernah beberapa saat menghabiskan waktu bersama Mujahid masyhur Syaikh Izzuddin al-Qasam. Beliau membantu merancang rencana untuk sebuah pergolakan revolusioner menentang Inggris dan Yahudi.[12]

Jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi tahun 1948 memberikan keyakinan kepada beliau, bahwa hanya aktivitas yang terorganisasi dan memiliki akar pemikiran Islam yang kuat sajalah yang akan dapat mengembalikan kekuatan dan keagungan umat Islam.

Karena itu, beliau mulai melakukan persiapan yang sesuai untuk struktur partai, rujukan pemikiran dan sebagainya; setidaknya sejak 1949 ketika beliau masih menjabat Qadhi di al-Quds. Pada tahun 1950 beliau merilis buku beliau yang pertama, yaitu Inqâdz Filisthin (Membebaskan Palestina). Beliau menunjukkan akar yang sangat dalam, bahwa Islam telah hadir di Palestina sejak abad VII, dan bahwa sebab utama kemunduran yang mendera Arab adalah karena umat ini telah menarik diri dan menyerahkan diri pada kekuasaan penjajah; dan ini adalah fakta.

Pada tahun 1950, beliau hendak menghadiri KTT Kebudayaan Liga Arab di Alexandria, Mesir, namun beliau dilarang pergi. Padahal, Menteri Pendidikan dan Qadhi Qudhat (Hakim Agung) waktu itu, yaitu Syaikh Muhammad al-Amin as-Sanqaythi, telah menyetujuinya untuk menghadiri KTT.[13]
Akhirnya, beliau mengirimkan surat yang sangat panjang kepada para peserta KTT dan kemudian dikenal sebagai Risâlah al-‘Arab. Beliau menekankan bahwa misi yang benar dan hakiki dari Arab adalah Islam; hanya di atas asas Islam sajalah pemikiran dan kebangkitan kembali politik umat Islam akan bisa dicapai.

Tidak ada respon sama sekali dari para anggota KTT. Hal itu lebih menguatkan keyakinan beliau sebelumnya, bahwa pendirian partai politik menjadi perkara yang sangat urgen dan mendasar.
Karena itu, pada akhir 1952 dan awal 1953, seluruh persiapan diwujudkan dalam tataran praktis, lalu Hizbut Tahrir (HT) didirikan di al-Quds.[14]

UU Kepartaian Utsmani yang saat itu masih diterapkan di Palestina menyatakan, bahwa cukup dengan telah disampaikannya permintaan pendirian partai ke lembaga tertentu, dan cukup dengan publikasi bahwa permintaan itu telah diterima dan publikasi pendirian partai, maka itu sudah dinilai sebagai lisensi resmi bagi partai dan izin bagi partai untuk melaksanakan aktivitasnya. Saat itu belum ditetapkan aturan kepartaian yang baru.[15]

Karena itu, HT mengirimkan permohonan pendirian partai ke Departemen Dalam Negeri Yordania dan mempublikasikan pendirian Hizbut Tahrir di Harian Ash-Sharih edisi 14 Maret 1953, dengan susunan pengurus: Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani sebagai ketua Partai; Dawud Hamdan, wakil ketua merangkap sekretaris; Ghanim Abduh, bendahara; Munir Syaqir, anggota; dan Dr. ‘Adil an-Nablusi, anggota.[16]

Surat balasan dari Departemen Dalam Negeri Yordania adalah sebagai berikut:[17]
No.: ND/70/52/916
Tanggal: 14 Maret 1953

Kepada Yth.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan Seluruh Pendiri Hizbut Tahrir
Saya telah meneliti berita yang dilansir Surat Kabar Ash-Sharîh nomor hari ini dengan judul, “Hay’at at-Tahrir, Tasjîl al-Hizb Rasmiyan fî al-Quds.”

Saya berharap dapat memberi pengertian kepada Anda, bahwa apa yang dirilis mengenai pendirian partai secara resmi di al-Quds tidak bisa dibenarkan, dan bahwa sampainya apa yang Anda sekalian terima dari kepala kantor saya secara resmi diterimanya permintaan Anda sekalian, dalam pandangan Undang-undang Dasar, tidak dinilai sebagai izin bagi Anda sekalian. Hal itu karena izin pendirian partai dan pengakuan terhadapnya bergantung pada kepentingan negara seperti yang telah saya tunjukkan kepada Anda sekalian dalam beberapa tulisan yang dikirimkan kepada Anda sekalian mengenai tidak adanya persetujuan atas pendirian partai.

Wakil Departemen Dalam Negeri
Ali Hasanah

Atas dasar ini, pemerintah Yordania mengeluarkan larangan berdirinya HT dan menyatakan aktivitasnya sebagai ilegal. Namun, HT mengabaikan hal itu dan terus beraktivitas hingga sekarang.[18]

Pada tahun 1953, pada masa kabinet Tawfiq ‘Abdul Hadi (alm.), Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani bersama Ustadz Dawud Hamdan ditangkap di al-Quds; sementara Munir Syaqir dan Ghanim ‘Abduh ditangkap di Amman; lalu beberapa hari berikutnya, Dr. Abd al-‘Aziz al-Khiyath juga ditangkap; semuanya dijebloskan ke penjara.

Pada waktu itu HT berhasil meyakinkan sejumlah wakil rakyat dan pejabat kabinet di Amman. Akhirnya, sekelompok wakil rakyat, pengacara, pebisnis, dan sejumlah orang yang memiliki kedudukan mengirimkan petisi yang menuntut lembaga berwenang agar membebaskan Syaikh Taqiyuddin dan kolega beliau. Petisi ditandatangani sebanyak 37 orang.[19]

Dr. Abd al-‘Aziz al-Khiyath bertutur:

Tiga hari setelah saya masuk penjara, di kantor kepala penjara, seorang yang sangat baik, H. Salim, terjadi diskusi antara kami dan utusan ketua Kabinet, Muhammad ‘Ali Badir, Rasyid al-Khiyath, dan seorang wakil rakyat Rasyad Thawqan. Diskusi membahas dakwah Islamiyah dan aktivitas Hizbut Tahrir, bahwa dalam aktivitas Hizbut Tahrir tidak ada yang menyalahi perundang-undangan; tidak ada seruan revolusi ataupun huru-hara; juga tidak ada seruan pada kekerasan. Kami tidak lain menyerukan pemikiran kami dengan metode yang damai dan hal itu dijamin UUD. Mereka sepaham dengan kami. Hari berikutnya, kami dibebaskan.[20]

Glubb Pasya, seorang pejabat Inggris yang kala itu menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata Yordania, yang ironisnya disebut Arab Legion of British Army (Legion Arab Tentara Inggris)—dialah yang secara real berkuasa di Yordania—mendesak pemerintahan boneka di Yordan untuk menggunakan semua alat yang diperlukan untuk ‘mencekik’ HT dan aktivitasnya. Tahun 1954 dikeluarkan Qânûn al-Wa’zhu wa al-Irsyâd. Isinya, seseorang tidak boleh menyampaikan ceramah, khutbah, atau pengajaran di masjid kecuali mendapat lisensi resmi dari Qadhi Qudhat. Atas dasar UU ini, sejumlah tokoh HT ditangkap dan dijebloskan ke penjara.[21]

Pada November 1953, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berpindah ke Damaskus dan menyebarkan dakwah di sana. Namun, satu saat intelijen Syiria membawa beliau ke perbatasan Syria-Lebanon. Atas bantuan Mufti Lebanon, Syaikh Hasan al-‘Alaya, akhirnya beliau diizinkan masuk ke Lebanon yang sebelumnya tidak boleh.

Beliau lalu menyebarkan pemikiran beliau di Lebanon dengan leluasa sampai tahun 1958, yaitu ketika pemerintah Lebanon mulai mempersempit kehidupan beliau karena merasakan bahaya dari pemikiran yang beliau emban. Akhirnya, beliau berpindah dari Beirut ke Tharablus dan terpaksa mengubah penampilan agar leluasa menjalankan kepemimpinan HT.[22]

Selama itu beliau terus memegang Qiyadah (Kepemimpinan) HT. Beliau juga terus memantau berita baik dari koran, berbagai media, radio, dan sebagainya; kemudian menulis analisis politik dan disebarkan atas nama HT.

Beliau wafat pada 1 Muharam 1398 H atau 11 Desember 1977 M. Jenazah beliau dimakamkan di pemakaman Syuhada’ al-Auza’i, Beirut.[23]

Peninggalan Beliau

Peninggalan beliau adalah sesuatu yang sangat bernilai. Beliau telah meninggalkan sebuah partai (Hizbut Tahrir) yang solid dengan seluruh pemikiran yang diembannya. Beliaulah yang menulis hampir seluruh pemikiran dan pemahaman HT.

Namun, beliau juga melibatkan komponen HT dalam menulis kitab-kitab beliau. Beliau menulis rancangan buku dan garis-garis besarnya, kemudian beliau mempercayakan kepada salah seorang intelektual HT yang menonjol di sekeliling beliau untuk menulis lengkapnya hingga mewujud dalam bentuk pemikiran yang mengkristal (jernih dan kokoh), baru kemudian dicetak.[24]
Beliau sering menyodorkan buku-buku beliau kepada para intelektual dan ulama HT sekaligus mendiskusikannya sebelum memutuskan akhirnya. Dengan begitu, pemikiran yang keluar merupakan pemikiran yang jelas, gamblang, dan sahih; dengan argumentasi yang kuat dan disertai keyakinan atas setiap hurufnya.[25]

Karya-karya beliau istimewa karena bersifat menyeluruh dan mencakup berbagai bidang yang luas dan solusi atas problematika manusia. Karya-karya politis beliau juga istimewa karena didsarkan pada kesadaran, kedalaman, kejelasan, dan kesatuan sistematika sehingga mampu mendeskripsikan Islam sebagai ‘ideologi’ yang sempurna dan menyeluruh yang digali dari dalil-dalil syariat—al-Quran, as-Sunnah, Ijma Sahabat, dan Qiyas. Hal ini bisa dikatakan sebagai hasil pertama dari usaha yang sungguh-sungguh dari seorang pemikir Muslim pada zaman ini.[26]

Kehidupan politik beliau termasuk yang paling menonjol pada era ini dan mungkin sampai ke depan nanti. Beliau memiliki kemampuan yang tinggi dalam melakukan analisis politik, sebagaimana tampak dalam berbagai selebaran politik HT. Beliau memiliki keluasan telaah atas berbagai peristiwa politik; memiliki kedalaman pemahaman dan kesadaran yang sempurna atas masalah-masalah dan ide-ide politik. Siapa yang mendalami berbagai selebaran dan buku politik HT, garis-garis besar politik yang beliau susun untuk membina para syabâb (aktivis) HT secara politik, akan dapat mengerti bahwa beliau memiliki kemampuan politik yang luar biasa. Beliau benar-benar merupakan salah seorang pemikir sekaligus politikus ulung abad ke-20.[27]

Semoga kita dapat melestarikan peninggalan beliau yang sangat bernilai itu. Semoga kita diberi kekuatan oleh Allah untuk melanjutkan dan tetap istiqamah memperjuangkan tegaknya Khilafah Islamiyah—yang menerapkan syariat Islam sekaligus mendakwahkan Islam ke seluruh dunia—yang menjadi dambaan beliau dan kita semua. Wallâh Muwaffiq ilâ Aqwâm ath-Tharîq. [Yahya A].
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []

[1] Dikutip oleh Dr. Abd al-‘Azîz al-Khiyâth, dalam Muqadimah buku Hizb at-Tahrîr al-Islâmiy, ‘Aradh Târikhiy wa Dirâsah ‘Âmah, hal 7-8, ‘Awniy Judû’ al-‘Abîdiy, Dar al-Liwa’ li as-Shahafah wa an-Nasyr. 1993
[2] Hizb ut-Tahrir’s Media Office, The Founder of Hizb at-Tahrîr ut-Tahrir, Hizb-ut Tahrir.org; Ihsan Samarah, Mafhûm al-‘Adâlah al-Ijtimâ’iyyah fî al-Fikr al-Mu’ashir, hal. 140
[3] Yusuf al-‘Awdat, Min A’lam al-Fikr wa al-Adab fî Filisthin, hal. 619-620; az-Zarkali, al’A’lam, jilid xix, hal. 289-290, cet. II.
[4] ‘Awniy Judû’ al-‘Abîdiy, Hizb at-Tahrîr al-Islâmiy, ‘Aradh Târikhiy wa Dirâsah ‘Âmah, hal. 43-44, Dar al-Liwa’ li as-Shahafah wa an-Nasyr. 1993
[5] Ihsan Samarah, op. cit., hal. 141; Abd al-Halim Ramhi, al-A’lam al-Islâmiy, hal. 120, Desertasi Doktoral Universitas Islam Pakistan. 1986
[6] Ihsan Samarah, ibid, hal. 142; al-Kaylâni, al-harakât al-Islâmiyyah fî al-Urdun, hal. 110
[7] Ihsan Samarah, ibid, hal. 141-142. Hasil wawancara dengan Syaikh Shubhi al-Mu’aqqat dan Syaikh al-Ustadz Abd al-Hamid as-Sa’ih.
[8] As-Sayid Ziyâd Salamâh, Munâqasyât ‘Ilmiyyah Hawla Târîkh Hizb at-Tahrir, komentar (ta’li’) buku Hizb at-Tahrîr al-Islâmiy, ‘Aradh Târikhiy wa Dirâsah ‘Âmah, hal 126-127, ‘Awniy Judû’ al-‘Abîdiy, Dar al-Liwa’ li as-Shahafah wa an-Nasyr. 1993
[9] Lihat, The Founder of Hizb ut-Tahrir, Hizb at-Tahrir’s Media Office, Hizb-ut Tahrir.org; Ihsan Samarah, op. cit., hal. 142-144; al-Mawshû’ah al-Filisthiniyyah, juz I, hal. 564. Sayid Ziyâd Salamah memberikan rangkaian yang agak berbeda : “ Saya menemukan urutan yang lain di al-Mawshû’ah al-Filisthiniyyah, yang mendorongku untuk mendalaminya dari arsip Mahkamah-Mahkamah Syariah di Palestina, maka saya menemukan : Setelah Syaikh an-Nabhani kembali dari al-Azhar tahun 1932, beliau mengajar di sekolah-sekolah di Haifa (salah satu murid beliau aalah Ustadz Ihsan ‘Abbas), selanjutnya beliau mengajar di Madrasah al-Khalil Tsanawiyah (setingkat SMU) sampai 1932. Kemudian beliau menjabat Sekretaris Mahkamah di Bissan, lalu pindah ke Taberiya. Tahun 1940-1942 beliau menjabat Sekretaris di Mahkamah Syariah di Yafa. Lalu pindah ke Haifa dan menjabat Kepala Sekretaris Mahkamah Syariah di Haifa sampai 28-4-’45. Kemudian antara 29-11-’45 sampai 20-12-’45 beliau menjabat Musyâwir di Mahkamah al-Quds. Kemudian pindah menjabat Qadhi di Mahkamah al-Khalil as-Syar’iyah sampai 1-2-’47. Kemudian beliau menjabat Qadhi al-Quds. Dan pada akhir 1948 beliau berkarya di Mahkamah Isti’naf dimana beliau menjadi Penilik terhadap Mahkamah-mahkamah yang ada dan kemudian menjadi angota Mahkamah Isti’naf sampai kuartal I tahun 1950. (Ziyad Salamah, Munâqasyât ‘Ilmiyyah Hawla Târîkh Hizb at-Tahrir, komentar (ta’li’) buku Hizb at-Tahrîr al-Islâmiy, ‘Aradh Târikhiy wa Dirâsah ‘Âmah, hal 127-128, ‘Awniy Judû’ al-‘Abîdiy, Dar al-Liwa’ li as-Shahafah wa an-Nasyr. 1993
[10] Dr. ‘Abd al-‘Aziz al-Khiyath, Muqadimah, dan Ziyad Salamah, ibid, dalam ‘Awniy al-Judû’ al-‘Abidiy, op. cit.
[11] The Founder of Hizb ut-Tahrir, Hizb at-Tahrir’s Media Office, Hizb-ut Tahrir.org; Ihsan Samarah, hasil wawancara langsung dengan sahabat Syaikh Taqiy yaitu Ustadz Jâd ar-Rab Ramadhan, salah seorang tokoh di Kulliyah as-Syarî’ah wa al-Qanûn tahun 1973 di Kaero, Mesir.
[12] The Founder of Hizb ut-Tahrir, Hizb at-Tahrir’s Media Office, Hizb-ut Tahrir.org
[13] Ziyad Salamah, op. cit., dalam ‘Awniy Judû’ al-‘Abidi, op. cit. hal. 129.
[14] Hizb at-Tahrir’s Media Office, The Founder of Hizb ut-Tahrir, Hizb at-Tahrîr-ut-Tahrir.org
[15] Dr. Abd al-‘Aziz al-Khiyath, op. cit.
[16] Ihsan Samarah, op. cit., hal. 146, mengutip dari harian ash-Sharîh tanggal 14 Maret 1953 “Hai’at at-Tahrir, Tasjîl al-Hizb Rasmiyan fî al-Quds”
[17] Ihsan Samarah, ibid, hal. 146-147
[18] Hizb at-Tahrir’s Media Office, The Founder of Hizb ut-Tahrir, Hizb-ut-Tahrir.org
[19] Ziyad Salamah, op. cit. hal. 126.
[20] Dr. Abd al-‘Aziz al-Khiyath, op. cit, hal. 22
[21] Ibid, hal. 22-25; Hizb at-Tahrir’s Media Office, The Founder of Hizb ut-Tahrir
[22] ‘Awniy Judû’ al-‘Abidi, op. cit., hal. 111-112
[23] Mengenai tanggal wafat beliau terdapat tiga catatan, Harian ad-Dustûr Yordania menyebutkan, wafat beliau pada 19 Muharam 1398 H atau 29 Desember 1977. Sedangkan ‘Awniy Judû‘ al-‘Abîdî, op. cit., hal. 113, menyebutkan beliau wafat pada 25 Rajab 1398 H atau 20 Juni 1977. Yang meyakinkan (pasti) adalah sesuai penjelasan Hizb at-Tahrîr dan salah seorang dari orang dekat beliau bahwa beliau wafat pada 1 Muharam 1398 H atau 11 Desember 1977 M.
[24] ‘Awniy Judû’ al-‘Abidi, op. cit., hal. 99, hasil wawancara dengan Ust. Ghanim ‘Abduh pada 25 Juli 1990.
[25] Abdullah Muhammad Mahmud, Arba’ Mulâhazhât ‘alâ Ta’qibât ‘alâ Kitâb Hizb at-Tahrîr li Sayid ‘Awniy Judû’, dalam ‘Awniy Judû’ al-‘Abidi, op. cit., hal. 148.
[26] Ihsan Samarah, op. cit., hal. 150, mengutip dari Dr. Fahmi Jad’an, Nazhariyah at-Turâts, hal. 83-88.
[27] Ihsan Samarah, ibid, hal. 148-149

(http://kuliahpemikiran.wordpress.com/2010/12/01/syaikh-taqiyuddin-an-nabhani/)

0 comments:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More